Luk 17:11-18
Dalam perjalanan-Nya ke
Yerusalem Yesus menyusur perbatasan Samaria dan Galilea. Ketika Ia memasuki
suatu desa datanglah sepuluh orang kusta menemui Dia. Mereka tinggal berdiri
agak jauh dan berteriak: "Yesus, Guru, kasihanilah kami!" Lalu Ia
memandang mereka dan berkata: "Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada
imam-imam." Dan sementara mereka di tengah jalan mereka menjadi tahir.
Seorang dari mereka, ketika melihat bahwa ia telah sembuh, kembali sambil
memuliakan Allah dengan suara nyaring, lalu tersungkur di depan kaki Yesus dan
mengucap syukur kepada-Nya. Orang itu adalah seorang Samaria. Lalu Yesus
berkata: "Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir? Di
manakah yang sembilan orang itu? Tidak adakah di antara mereka yang kembali
untuk memuliakan Allah selain dari pada orang asing ini?"
Saudara-saudari yang terkasih, bagi
orang Yahudi penyakit kusta merupakan keterkutukan. Setiap orang yang menderita
penyakit ini selalu diasingkan dari tengah-tengah masyarakat karena mereka dianggap nazis. Ibaratnya mereka dianggap mayat
berjalan di dunia ini. Sesungguhnya mereka hanya menunggu
waktu saja untuk meninggalkan dunia ini. Yang paling parah lagi, biasanya
mereka berjalan dengan tongkat dan lonceng dan mereka harus berjalan dari pinggir
jalan. Bila satu atau dua orang sembuh (ditahirkan), ini merupakan sukacita
yang amat besar dan bahkan paling besar dan berkesan selama hidupnya.
Selama kurang lebih satu Minggu saya
bersama beberapa frater pernah tinggal dan hidup bersama orang kusta di
Silaumomo (Lubuk Pakam) Medan. Pada saat itu saya
menjalani masa Novisit Kapusin. Kami dibagi dalam
keluarga-kelaurga tersebut, kita
hidup bersama mereka, membantu mereka, tidur bersama mereka dan makan bersama
mereka. Awalnya ada rasa takut dan was-was, siapa tahu
nanti ketularan. Namun suster FSE
yang ada di sana menjelaskan bahwa itu tidak perlu ditakuti lagi. Dan seiring berjalannya waktu kami menjadi biasa dan dapat berkomunikasi
dengan baik bersama mereka. Selama di sana kesan saya mereka sangat tertutup
dan malu atas penyakit yang mereka derita. Pada awalnya mereka sangat marah dan
berontak pada Tuhan atas penderitaan mereka itu namun lama-kelamaan mereka
dapat bersyukur atas segala peristiwa yang menimpa mereka dan bahkan kemampuan
mereka terkadang melebihi manusia normal, misalnya: kerja mereka sangat baik:
membuat peralatan-peralatan rumah tangga, kursi, lemari, meja dan bahkan dari
mereka dipesan untuk membuta mimbar dan altar untuk beberapa gereja Katolik.
Saudara-saudari yang terkasih, rasa
syukur adalah tema permenungan kita kali ini. Apakah kita pernah bersyukur
kepada Tuhan atas hidup yang telah kita peroleh? Atas nafas kehidupan, atas
makanan, atas minuman, atas orang-orang yang mencintai kita: orang tua, bapa\ibu,
saudara\i, teman-teman kita dan sanak keluarga. Apakah kita pernah bersyukur
atas kesehatan, umur yang panjang. Ada yang telah 18 tahun, 19 tahun, 20 tahun, 21 tahun, dst. Atau apakah
kita sudah dapat bersyukur atas segala yang kita peroleh sampai saat ini?
Misalnya bakat-bakat kita, kemampuan belajar kita, prestasi yang telah kita
capai, pekerjaan kita. Atau setidak-tidaknya sudah kita mampu bersyukur atas kesempatan yang
kita peroleh untuk bermenung dan mencari Tuhan di tempat ini? Atau
jangan-jangan kita datang legio hanya sebagai formalitas belaka, karena tuntutan dan desakan peraturan legioner.
Saudara-saudari yang terkasih
marilah kita belajar dari orang kusta yang dikisahkan dalam Injil Lukas tadi.
Ia merasa bahagia dan bergembira atas kesembuhan yang ia peroleh dengan
cuma-cuma dari Yesus. Ia tidak tinggal tetap dalam kegembiraannya itu namun
bergerak dan berbuat lagi. Ia bergegas dan menjumpai Yesus untuk mengucap syukur atas
kesembuhannya. Rasa syukurnya itu disambut Yesus dengan baik dan penuh berkah karena dengan demikian Yesus kembali
menyempurnakan rasa syukurnya tersebut. Rasa syukur itu
juga menjadi suatu ungkapan kemampuan diri untuk berterima kasih atas segala
yang diperoleh selama ini. Hendaknya kita tidak tinggal hanya dalam rasa syukur
itu saja namun bergegas dan berbuat lagi. Kita punya potensi untuk itu karena
kita telah diperlengkapiNya dengan berbagai kesempurnaan. Semuanya itu diberikan untuk
menjadikan kita manusia yang lebih berdaya guna dihadapan Tuhan dan sesama kita.
Saudar-saudarai yang terkasih di saat kita mampu
mensyukuri pemberian-Nya pada saat itulah rahmat itu berlipat ganda dan berbuah
untuk kita. Dalam hidup ini terkadang
kita tidak mudah mensyukuri atas segala peristiwa yang
menimpa hidup kita, sangat dibutuhkan kesadaran dan pengorbanan yang intens. Namun percayalah orang yang telah berjuang sungguh-sungguh pasti akan
menemukan sukacita berlimpah dari pada orang yang sama sekali tidak berbuat apa-apa. Kita lebih
berharga di hadapan Tuhan bila berani melangkahkan kaki selangkah dari pada diam seribu bahasa
tanpa berbuat apa-apa. *Amen*