Mengenai Saya

Foto saya
Sekumpulan orang muda berkumpul bersama untuk berdoa dan melayani Tuhan

Rabu, 27 Februari 2013

Renungan

Luk 17:11-18
Dalam perjalanan-Nya ke Yerusalem Yesus menyusur perbatasan Samaria dan Galilea. Ketika Ia memasuki suatu desa datanglah sepuluh orang kusta menemui Dia. Mereka tinggal berdiri agak jauh dan berteriak: "Yesus, Guru, kasihanilah kami!" Lalu Ia memandang mereka dan berkata: "Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam." Dan sementara mereka di tengah jalan mereka menjadi tahir. Seorang dari mereka, ketika melihat bahwa ia telah sembuh, kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring, lalu tersungkur di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya. Orang itu adalah seorang Samaria. Lalu Yesus berkata: "Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir? Di manakah yang sembilan orang itu? Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain dari pada orang asing ini?"
            Saudara-saudari yang terkasih, bagi orang Yahudi penyakit kusta merupakan keterkutukan. Setiap orang yang menderita penyakit ini selalu diasingkan dari tengah-tengah masyarakat karena mereka dianggap nazis. Ibaratnya mereka dianggap mayat berjalan di dunia ini. Sesungguhnya mereka hanya menunggu waktu saja untuk meninggalkan dunia ini. Yang paling parah lagi, biasanya mereka berjalan dengan tongkat dan lonceng dan mereka harus berjalan dari pinggir jalan. Bila satu atau dua orang sembuh (ditahirkan), ini merupakan sukacita yang amat besar dan bahkan paling besar dan berkesan selama hidupnya.
            Selama kurang lebih satu Minggu saya bersama beberapa frater pernah tinggal dan hidup bersama orang kusta di Silaumomo (Lubuk Pakam) Medan. Pada saat itu saya menjalani masa Novisit Kapusin. Kami dibagi dalam keluarga-kelaurga tersebut, kita hidup bersama mereka, membantu mereka, tidur bersama mereka dan makan bersama mereka. Awalnya ada rasa takut dan was-was, siapa tahu nanti ketularan. Namun suster FSE yang ada di sana menjelaskan bahwa itu tidak perlu ditakuti lagi. Dan seiring berjalannya waktu kami menjadi biasa dan dapat berkomunikasi dengan baik bersama mereka. Selama di sana kesan saya mereka sangat tertutup dan malu atas penyakit yang mereka derita. Pada awalnya mereka sangat marah dan berontak pada Tuhan atas penderitaan mereka itu namun lama-kelamaan mereka dapat bersyukur atas segala peristiwa yang menimpa mereka dan bahkan kemampuan mereka terkadang melebihi manusia normal, misalnya: kerja mereka sangat baik: membuat peralatan-peralatan rumah tangga, kursi, lemari, meja dan bahkan dari mereka dipesan untuk membuta mimbar dan altar untuk beberapa gereja Katolik.
            Saudara-saudari yang terkasih, rasa syukur adalah tema permenungan kita kali ini. Apakah kita pernah bersyukur kepada Tuhan atas hidup yang telah kita peroleh? Atas nafas kehidupan, atas makanan, atas minuman, atas orang-orang yang mencintai kita: orang tua, bapa\ibu, saudara\i, teman-teman kita dan sanak keluarga. Apakah kita pernah bersyukur atas kesehatan, umur yang panjang. Ada yang telah 18 tahun, 19 tahun, 20 tahun, 21 tahun, dst. Atau apakah kita sudah dapat bersyukur atas segala yang kita peroleh sampai saat ini? Misalnya bakat-bakat kita, kemampuan belajar kita, prestasi yang telah kita capai, pekerjaan kita. Atau setidak-tidaknya sudah kita mampu bersyukur atas kesempatan yang kita peroleh untuk bermenung dan mencari Tuhan di tempat ini? Atau jangan-jangan kita datang legio hanya sebagai formalitas belaka, karena tuntutan dan desakan peraturan legioner.
            Saudara-saudari yang terkasih marilah kita belajar dari orang kusta yang dikisahkan dalam Injil Lukas tadi. Ia merasa bahagia dan bergembira atas kesembuhan yang ia peroleh dengan cuma-cuma dari Yesus. Ia tidak tinggal tetap dalam kegembiraannya itu namun bergerak dan berbuat lagi. Ia bergegas dan menjumpai Yesus untuk mengucap syukur atas kesembuhannya. Rasa syukurnya itu disambut Yesus dengan baik dan penuh berkah karena dengan demikian Yesus kembali menyempurnakan rasa syukurnya tersebut. Rasa syukur itu juga menjadi suatu ungkapan kemampuan diri untuk berterima kasih atas segala yang diperoleh selama ini. Hendaknya kita tidak tinggal hanya dalam rasa syukur itu saja namun bergegas dan berbuat lagi. Kita punya potensi untuk itu karena kita telah diperlengkapiNya dengan berbagai kesempurnaan. Semuanya itu diberikan untuk menjadikan kita manusia yang lebih berdaya guna dihadapan Tuhan dan sesama kita.
            Saudar-saudarai yang terkasih di saat kita mampu mensyukuri pemberian-Nya pada saat itulah rahmat itu berlipat ganda dan berbuah untuk kita. Dalam hidup ini terkadang kita tidak mudah mensyukuri atas segala peristiwa yang menimpa hidup kita, sangat dibutuhkan kesadaran dan pengorbanan yang intens. Namun percayalah orang yang telah berjuang sungguh-sungguh pasti akan menemukan sukacita berlimpah dari pada orang yang sama sekali tidak berbuat apa-apa. Kita lebih berharga di hadapan Tuhan bila berani melangkahkan kaki selangkah dari pada diam seribu bahasa tanpa  berbuat apa-apa. *Amen*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar